Radarcikarang – Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Elevan Yusmanto memprotes keras penyataan Presiden Joko Widodo yang menyinggung penggunaan darurat sipil dalam penanganan wabah COVID-19.
“Kenapa Pak Jokowi tak mau membahas kebijakan karantina wilayah? tetapi justru memilih pembatasan sosial berskala besar dan pilihan darurat sipil? Tentu ini memunculkan tanda tanya besar,” kata Elevan dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (31/3/2020).
Elevan menyebut penerapan darurat sipil untuk merespons wabah tidak hanya ngawur tetapi juga berbahaya.
“Merespons wabah dengan penetapan status keadaan bahaya tidak ada basisnya, apalagi menggunakan Perpu 23/1959, ayolah pemerintah jangan sembarangan, desakan masyarakat adalah respons yang tegas dan sesuai kebutuhan, bukan yang memperburuk situasi,” tegas Elevan.
Selain itu, menurutnya dengan menyebut pembatasan sosial skala besar ditambah darurat sipil, Pemerintah terkesan ingin lari dari tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara jika kebijakannya adalah karantina wilayah.
“Kondisi wabah terus meluas dan banyak yang sudah menjadi korban, seharusnya Pemerintah menggunakan aturan-aturan pada UU Nomor 6 tahun 2018 dengan lebih optimal. Tidak kemudian lompat ke Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah terkesan ingin potong jalur dengan tidak menerapkan karantina wilayah namun menerapkan PSSB diiringi darurat sipil untuk lebih membatasi aktivitas masyarakat tanpa diiringi tanggung jawab terhadap kebutuhan dasar warga.
Ia menuturkan karantina wilayah terdapat pada Bab VII bagian ketiga tentang Karantina Wilayah pada Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018.
“Saya heran jika pasal yang disediakan oleh undang-undang ini diabaikan oleh pemerintah. Pengabaian pada perintah undang-undang bisa termasuk pelanggaran konstitusi,” tandas Elevan.
Sementara Abdus Salam selaku Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI, juga menambahkan akan sangat berbahaya jika Pemerintah menerapkan darurat sipil. Sebab menurutnya Perpu Nomor 23 Tahun 1959 yang mencantumkan frasa darurat sipil itu merupakan aturan lama yang sempat akan diubah setelah reformasi 1998.
Ia menyebutkan isi dari Perpu tersebut memungkinkan kekuasaan melakukan penafsiran secara subjektif suatu kondisi yang mengarah dan bertindak otoriter, serta kebebasan sipil dipastikan akan terganggu dalam skala nasional.
Sebab Pasal 17 dalam Perpu tersebut menyebutkan hak penguasa darurat sipil yang sangat otoriter di antaranya kontrol terhadap semua alat komunikasi dan pemberitaan.
“Lagi-lagi Pemerintah ingin menunjukkan wajah otoriternya, bukannya segera terapkan karantina wilayah, ini malah darurat sipil,” pungkas Abdus Salam. (*)