Oleh : Aulia Rahmah
STEI SEBI
A. Kedudukan Wanita Dalam Islam
Perempuan merupakan separuh penduduk bumi namun pengaruhnya melebihi kuantitasnya. Hal tersebut dikarenakan pola pikir yang baik maupun buruk dapat mempengaruhi suami dan anak-anaknya sehingga untuk menuju masyarakat mulia perempuan harus memiliki pola pikir yang komprehensif. Sejarah perempuan, dimanapun negaranya, tidak terlepas dari penindasan dan kecurangan terhadap perempuan sehingga para perempuan dan pemerhati perempuan menuntut kebebasa. Makna kebebasan itu pun bervariasi-akses pendidikan, ekonomi, pernikahan, kebebasan hubungan seks, pengguguran kandungan dan lain-lain. Kesadaran dan pemahaman agama yang tepat harus dimiliki oleh setiap muslim agar tidak keluar dari nilai-nilai yang syumul.
Perempuan juga manusia yang memiliki kedudukan setara dengan laki-laki dalam tanggung jawab pelaksanaan kewajiban agama dan takdir mereka sesuai dengan Firman Allah SWT dalamQ.S. An Nisaa ayat 11. Sudut pandang lain terkait keseteraan terdapat dalam AL Qur’an Surat Al Ahzab ayat 35: kata laki-laki dan perempuan diulang berkali-kali dengan menyebutkan hal yang sama dalam sifat yang harus dimiliki dan amal yang harus dilakukan.
Tanggung jawab yang setara dalam kemasyarakatan yakni untuk menyuruh mengerjakan yang makruf dan menjauhi kemungkaran disebutkan dalam Quran Surat At Taubah ayat 71. Kemudian pada surat Al Baqarah ayat 35 perintah Allah tidak hanya ditujukan kepada Adam tetapi juga pada istrinya begitu pula kesalahan yang dilakukan merupakan kesalahan Adam dan Hawa (Q.S. Al A’raf: 23). Perempuan dan laki-laki sebagai manusia setara dalam hal siksa, pahala dan hak atas surga sesuai firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 134 dan 141.
Islam menganggap perempuan memainkan peran yang menyatu dengan laki-laki dan begitu pula sebaliknya. Laki-laki dan perempuan, satu sama lain hubungannya bukanlah musuh, lawan atau saling bersaing. Keduanya saling tolong menolong baik sebagai laki-laki dan perempuan maupun sebagai manusia secara keseluruhan dalam mencapai kesempurnaannya. Dalam pemaparan selanjutnya Yusuf Qardhawi menggunakan contoh kata positif dan negatif sebagai bentuk saling melengkapi. Kata positif dan negatif sangat riskan dan memberikan konotasi berbeda-beda seiring berkembangnya kosakata. Namun Yusuf Qardhawi menjelaskan lebih lanjut bahwa suatu kebijaksanaan Allah membentuk jasmani dan rohani perempuan berbeda yakni membawa unsur yang dapat menarik dan tertarik kepada laki-laki begitu pula sebaliknya sehingga kelestarian terjaga dengan keturunan yang berlanjut.
Pembahasan diawali dengan konotasi kata “bergaul” atau “bercampur”. Makna dari kata tersebut awalnya mengacu pada bertemunya laki-laki dan perempuan di suatu tempat. Dimana pada masa Rasulullah, untuk pertemuan yang dibenarkan dan dengan alasan baik seperti kajian tidaklah terlarang dan merupakan hal wajar. Namun arti kata “bergaul” atau “bercampur” konotasinya sekarang berbeda yakni mengarah ke hubungan laki-laki dan perempuan yang diumpamakan seperti melarutnya gula atau garam dalam air.
Menurut Yusuf Qardhawi menjadi batasan pergaulan dengan kebebasan seluas-luasnya atau kita sering sebut sebagai pergaulan bebas. Menurutnya akibat dari pergaulan bebas sudah nyata terlihat melalui kemerosotan akhlak, anak tidak sah, merosotnya angka pernikahan, tingginya kehancuran keluarga dan menyebabkan penyakit yang mematikan. Yusuf Qardhawi menekankan pentingnya pergaulan sesuai syariat dengan menambahkan teori psikoanalisis Freud dan pengikutnya yaitu diangkatnya batasan-batasan tradisional atas naluri seksual akan mengakibatkan meredanya ketegangan syaraf dan kesadaran, menyembuhkan perasaan tertekan dan memberi jiwa perasaan nyaman dan ketenangan.