Oleh:
Haris Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Program Studi : Manajemen Pendidikan
Email : kurniawanharis135@gmail.com
Pengelolaan aset sekolah sering dianggap sebagai pekerjaan yang bisa ditunda. Banyak orang mengira tugas utama sekolah hanya soal mengajar, padahal kondisi fasilitas punya pengaruh besar terhadap kualitas pembelajaran. Data Kemendikbudristek tahun 2024 mencatat bahwa lebih dari 40 persen ruang kelas SD hingga SMA berada dalam kondisi rusak sedang atau berat. Angka ini meningkat pada 2025, ketika beberapa daerah melaporkan kerusakan yang lebih besar akibat usia bangunan dan minimnya perawatan. Ketika ruang kelas bocor, meja goyah, atau peralatan belajar rusak, siswa sulit berkonsentrasi, dan guru tidak bisa mengajar dengan maksimal.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan aset bukan sekadar pekerjaan administratif, tetapi fondasi penting bagi mutu pendidikan. Sekolah yang asetnya terawat dapat menjalankan proses belajar dengan aman dan nyaman. Sebaliknya, jika fasilitas dibiarkan rusak, biaya perbaikan justru jauh lebih besar. Banyak sekolah akhirnya masuk dalam lingkaran masalah yang sulit dihindari: perawatan ditunda, kerusakan makin parah, dan dana yang dibutuhkan meningkat berkali lipat.
Tantangan dalam Pengelolaan Aset Sekolah
Tantangan pertama adalah pencatatan aset yang tidak rapi. Banyak sekolah masih mengandalkan buku inventaris manual yang jarang diperbarui. Ketika dilakukan pengecekan, data tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Ada barang yang masih tercatat padahal sudah rusak sejak lama, atau barang yang aktif digunakan tetapi tidak masuk dalam daftar inventaris. Data yang tidak akurat menyulitkan sekolah merencanakan perawatan dan meningkatkan risiko kehilangan barang. Tidak jarang sekolah membeli barang baru karena merasa tidak memiliki stok, padahal sebenarnya ada tetapi tidak tercatat.
Tantangan kedua adalah keterbatasan dana operasional. Dana BOS membantu sebagian kebutuhan sekolah, tetapi sebagian besar dialokasikan untuk kegiatan pembelajaran, administrasi, dan honor pegawai. Perawatan aset sering menjadi prioritas terakhir. Padahal laporan Bank Dunia tahun 2020 menunjukkan bahwa perawatan rutin dapat mengurangi biaya perbaikan hingga 30 persen dalam satu tahun. Namun banyak sekolah memilih menunda perawatan hingga kerusakan sudah parah, sehingga biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih tinggi.
Tantangan berikutnya adalah minimnya pelatihan manajemen aset bagi kepala sekolah, bendahara, atau petugas tata usaha. Banyak yang menganggap manajemen aset hanya sebatas daftar barang, padahal aspek penting lainnya mencakup umur pakai, jadwal perawatan, tingkat urgensi pembaruan, hingga analisis risiko. Jika pemahaman ini belum dimiliki, keputusan pengelolaan aset sering tidak tepat sasaran. Kurangnya transparansi laporan juga menyulitkan proses pengawasan, sehingga kesalahan pencatatan baru diketahui ketika sudah terjadi kerusakan atau kehilangan.
Selain itu, keterbatasan teknologi menjadi tantangan tersendiri. Sebagian sekolah memang telah menggunakan aplikasi sederhana, tetapi masih banyak yang mencatat secara manual. Catatan manual rawan hilang dan sulit diperbarui. Padahal spreadsheet atau aplikasi gratis sebenarnya cukup efektif untuk membuat inventaris yang rapi dan mudah diakses. Dengan sistem digital sederhana, sekolah bisa memantau kondisi barang secara cepat dan menentukan prioritas perawatan dengan lebih jelas.
Strategi Efektif Mengelola Aset dengan Dana Terbatas
Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, sekolah perlu strategi yang realistis dan tidak membebani anggaran.
Pertama, membuat inventaris digital. Tidak perlu perangkat mahal atau aplikasi berbayar. Spreadsheet sederhana sudah cukup mencatat jenis barang, kondisi, tahun pembelian, hingga jadwal perawatan. Contohnya, sebuah SD di Sleman berhasil mengurangi biaya perawatan sekitar 20 persen setelah menggunakan pencatatan digital. Data yang rapi membuat sekolah lebih mudah mengetahui barang mana yang perlu diperbaiki dan mana yang masih layak digunakan.
Kedua, memprioritaskan perawatan rutin. Banyak kerusakan besar berawal dari kerusakan kecil yang dibiarkan, seperti engsel pintu longgar, saluran listrik aus, atau ventilasi tersumbat. Jika kerusakan kecil ini diperiksa secara berkala, umur aset bisa diperpanjang. Konsep ini sederhana: lebih murah mencegah daripada memperbaiki. Membersihkan proyektor, mengecek instalasi listrik, atau merawat bangku kelas adalah langkah kecil yang dapat menghemat biaya besar di masa depan.
Ketiga, melibatkan warga sekolah. Guru, siswa, dan komite dapat dilibatkan melalui program sederhana, seperti merapikan kelas, merawat taman, atau mengembalikan alat peraga ke tempatnya. Beberapa sekolah menjalankan program adopsi aset, di mana satu kelas bertanggung jawab atas kebersihan dan perawatan area tertentu. Pendekatan ini tidak hanya menekan kerusakan fasilitas, tetapi juga menanamkan nilai tanggung jawab pada siswa.
Keempat, menjaga transparansi. Laporan aset dan anggaran penting untuk dibuka kepada guru dan komite. Keterbukaan membuat pengawasan lebih mudah dan membantu mencegah pemborosan. Masyarakat juga lebih percaya jika penggunaan dana jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kelima, mencari sumber pendanaan alternatif. Beberapa sekolah bekerja sama dengan perusahaan melalui program CSR, lembaga sosial, atau bantuan alumni. Sebuah madrasah di Surabaya, misalnya, berhasil memperbaiki laboratorium sekolah setelah mendapatkan dukungan dari alumni yang peduli. Kolaborasi seperti ini dapat dilakukan jika sekolah membangun komunikasi yang baik dan memiliki perencanaan yang matang.
Studi Kasus dan Praktik Baik
Kerusakan aset sekolah pada 2025 menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini. Di Sukabumi, terdapat 3.921 ruang kelas SD yang rusak. Di Bandung Barat, lebih dari 75 persen ruang kelas SD dan SMP mengalami kerusakan. Di Seluma, siswa SDN 178 harus belajar di bawah pohon karena bangunan sekolah tidak dapat digunakan. Sementara itu, di Gresik tercatat 179 ruang kelas SD yang membutuhkan perbaikan dalam tahun yang sama. Fakta ini menggambarkan bahwa kondisi fisik sekolah berpengaruh langsung terhadap kenyamanan dan keselamatan belajar siswa. Untuk memperjelas kondisi kerusakan ruang kelas berdasarkan jenjang, berikut visualisasi data Dapodik 2024.
Jika melihat ke negara maju, ada banyak praktik yang bisa dicontoh Indonesia.
Finlandia menerapkan sistem life-cycle asset management untuk seluruh bangunan sekolah. Pemerintah daerah wajib melakukan inspeksi fisik dua kali setahun, dan setiap temuan dimasukkan ke sistem nasional yang memuat umur bangunan, kondisi fasilitas, serta estimasi biaya perawatan. Pendekatan ini memastikan kerusakan tidak dibiarkan membesar. Argumennya jelas: ketika data lengkap dan akurat, sekolah bisa merencanakan perawatan rutin dengan biaya yang jauh lebih rendah dibanding perbaikan besar.
Jepang memiliki budaya gakko soji, yaitu kegiatan siswa membersihkan kelas dan lingkungan sekolah setiap hari. Siswa menyapu lantai, membersihkan meja, dan merapikan fasilitas bersama-sama. Kebiasaan ini bukan hanya bagian dari karakter bangsa Jepang, tetapi juga strategi manajemen aset yang efektif. Ketika seluruh warga sekolah merasa memiliki fasilitas, tingkat kerusakan menurun drastis. Jepang tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk petugas kebersihan, dan fasilitas sekolah selalu terjaga.
Korea Selatan menggunakan sistem smart facility management berbasis sensor. Sensor dipasang pada dinding, plafon, hingga struktur bangunan untuk memantau suhu, kelembapan, dan potensi keretakan. Data dikirim otomatis ke dinas pendidikan sehingga kerusakan kecil bisa ditangani sebelum menjadi besar. Pendekatan ini terbukti menurunkan biaya perawatan 20–25 persen dalam lima tahun. Teknologi sederhana seperti ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia, terutama pada sekolah yang sudah memiliki akses internet stabil.
Berdasarkan Ketiga contoh pengelolaan aset sekolah beberapa negara di atas, menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan aset sekolah jelas tidak hanya berdasar pada besar kecilnya anggaran, namu lebih di pengaruhi dari kebiasaan merawat, pencatatan yang rapi, dan penggunaan teknologi yang tepat.
Simpulan dan Rekomendasi
Dari berbagai kasus di Indonesia dan praktik baik di negara maju, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan aset sekolah adalah aspek yang sangat menentukan kualitas pembelajaran. Dana memang penting, tetapi tanpa pencatatan yang rapi, budaya merawat, dan sistem perencanaan yang jelas, sekolah tetap akan menghadapi kerusakan yang berulang.
Saya menyarankan sekolah untuk mulai menggunakan inventaris digital sederhana, melakukan perawatan rutin, memberikan pelatihan manajemen aset kepada kepala sekolah dan bendahara, serta membangun transparansi dalam pelaporan. Pelibatan warga sekolah dan kolaborasi dengan masyarakat juga penting untuk memperkuat dukungan.
Pengelolaan aset yang baik bukan hanya menghemat biaya, tetapi juga memastikan siswa belajar dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan layak. Dengan langkah sederhana dan terencana, mutu pendidikan dapat meningkat tanpa harus menunggu anggaran besar


















