Adaptasi Mahasiswa Nusantara di Tengah Tren Global dan Dinamika Sosial
By: Muhammad Zulfitrah Reinold
Ketika mendengar istilah culture shock, kebanyakan orang memikirkan perubahan besar seperti kebiasaan, bahasa, atau makanan. Namun, ada satu aspek yang sering terabaikan, yaitu fashion. Di era globalisasi, fashion bukan sekadar pilihan gaya berpakaian, melainkan juga bahasa universal yang mencerminkan identitas, nilai, dan cara seseorang beradaptasi dengan lingkungan baru.
Di kampus internasional seperti President University, fashion memiliki peran signifikan dalam kehidupan sosial dan budaya mahasiswa. Kampus ini, yang menjadi titik temu mahasiswa dari seluruh penjuru Nusantara dan dunia, menghadirkan tantangan dan peluang untuk berekspresi melalui gaya berpakaian. Namun, bagaimana sebenarnya mahasiswa dari daerah dengan budaya lokal yang kuat menghadapi dinamika ini?
Fashion: Lebih dari Sekadar Pakaian
Fashion adalah salah satu bentuk komunikasi nonverbal paling kuat. Di lingkungan yang heterogen seperti President University, cara berpakaian sering kali menjadi “bahasa pertama” sebelum seseorang berbicara. Pilihan gaya berpakaian dapat mencerminkan karakter, status sosial, hingga ambisi seseorang.
Namun, di kampus dengan keberagaman seperti ini, fashion tidak sekadar soal mengikuti tren global. Ia menjadi sarana untuk beradaptasi dengan lingkungan, sekaligus mempertahankan identitas budaya. Bagi mahasiswa yang berasal dari daerah seperti Kalimantan atau Sumatra, berhadapan dengan tren metropolitan di Greater Jakarta bisa menjadi pengalaman yang menginspirasi sekaligus menantang.
“Di sini tuh semua orang seperti punya standar berpakaian yang berbeda. Kalau di tempatku dulu, lebih simpel dan nggak neko-neko,” ungkap Kanaya, mahasiswa asal Sumatra. Ia mengakui bahwa lingkungan Jakarta memberikan kebebasan lebih untuk bereksperimen, namun tetap ada kejutan saat mendapati gaya berpakaian yang dianggapnya kurang sopan.
Yogi, mahasiswa asal Kalimantan, memiliki pandangan serupa. “Di Kalimantan, fashion itu monoton. Jadi pas sampai di sini, aku merasa lebih bebas untuk berekspresi,” jelasnya.
Adaptasi yang Membentuk Interaksi Sosial
Salah satu hal menarik yang ditemukan mahasiswa di President University adalah bagaimana fashion dapat memengaruhi dinamika sosial. Pilihan pakaian tidak hanya menentukan bagaimana seseorang dilihat, tetapi juga bagaimana mereka diterima dalam pergaulan.
“Kadang, kelompok pertemanan di sini terbentuk karena kesamaan gaya berpakaian,” ungkap Yogi. Ia menambahkan, variasi gaya di kampus internasional seperti ini memberikan ruang bagi mahasiswa untuk menemukan kelompok yang merasa “sefrekuensi.”
Hal ini diamini oleh Kanaya, yang merasa bahwa berpakaian dengan baik (well-dressed) dapat membuka banyak peluang. “Ketika kita terlihat rapi, orang jadi lebih memperhatikan kita.” ujarnya dengan percaya diri.
Namun, adaptasi ini tidak selalu mulus. Mahasiswa yang datang dari daerah konservatif terkadang merasa perlu menyesuaikan diri dengan cepat agar tidak dianggap “ketinggalan zaman” atau “terlalu berbeda.”
Fashion sebagai Bagian dari Perjalanan Pribadi
Bagi banyak mahasiswa, perubahan gaya berpakaian di lingkungan internasional mencerminkan perjalanan transformasi diri yang lebih besar. Mereka tidak hanya belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, tetapi juga menemukan sisi lain dari diri mereka.
“Fashion di sini lebih dari sekadar pakaian. Ini seperti identitas baru yang kita bangun,” ungkap Kanaya. Ia menuturkan bahwa sejak kuliah di President University, ia merasa lebih percaya diri untuk mencoba gaya yang sebelumnya dianggap tabu di lingkungannya.
Namun, tidak semua mahasiswa merasa perlu mengubah gaya mereka. Yogi, misalnya, mengungkapkan bahwa ia sudah lama mengikuti tren fashion global, meskipun penerapannya sempat terbatas di Kalimantan. “Aku nggak terlalu kaget, karena sebenarnya aku sudah tahu tentang tren. Hanya saja, di tempatku dulu, lingkungannya kurang mendukung,” jelasnya.
Menghadapi Culture Shock dengan Gaya
Fenomena culture shock dalam fashion tidak hanya soal mengikuti tren, tetapi juga soal menghadapi perbedaan nilai. Di daerah asal, pakaian mungkin mencerminkan tradisi atau norma sosial tertentu. Ketika berpindah ke lingkungan internasional, mahasiswa dihadapkan pada interpretasi baru terhadap fashion.
Sebagian merasa ini sebagai kebebasan, seperti yang dialami Yogi. Lingkungan baru memungkinkan ia untuk bereksperimen tanpa rasa takut akan penilaian negatif. Sementara itu, bagi Kanaya, perubahan ini menjadi tantangan, terutama ketika harus berdamai dengan nilai-nilai konservatif yang dibawanya dari Sumatra.
“Kaget banget waktu lihat gaya yang menurutku nggak sopan, tapi ternyata normal di sini,” ujar Kanaya. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa pengalaman ini memberinya pelajaran penting tentang keberagaman perspektif.
Fashion sebagai Simbol Transformasi
Di kampus internasional seperti President University, fashion adalah lebih dari sekadar tren. Ia adalah alat adaptasi, komunikasi, dan eksplorasi diri. Mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru Nusantara tidak hanya belajar tentang dunia baru, tetapi juga tentang diri mereka sendiri melalui pilihan gaya berpakaian.
Pada akhirnya, fashion menjadi simbol dari keberanian untuk menghadapi dunia yang berbeda, sekaligus merayakan identitas budaya yang unik. Seperti yang diungkapkan oleh Yogi, “Fashion di sini itu bebas. Ini soal bagaimana kita menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.”
Dengan segala tantangan dan peluangnya, culture shock dalam fashion tidak hanya mengubah cara seseorang berpakaian, tetapi juga cara mereka melihat dunia. Di kampus internasional, fashion adalah cerita tentang perubahan, kebebasan, dan sedikit keberanian untuk tampil beda—dengan gaya.