Dalam perjalanan rumah tangga, lika-liku kehidupan tidak selalu berjalan dengan mulus. Terkadang, konflik dan ketidaksepakatan menyelinap di antara dua hati yang seharusnya satu, dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberikan panduan tegas mengenai penyelesaian konflik rumah tangga agar terhindar dari peceraian. Kasus perceraian di Indonesia terbilang tinggi. Setidaknya ada 516 ribu pasangan yang bercerai setiap tahun. Di sisi lain, angka pernikahan justru mengalami penurunan (Republika September 2023). Ayat mulia dalam Surah An-Nisa ayat 35 menjadi sinar petunjuk, mengarahkan langkah-langkah bijak untuk merajut kembali keharmonisan di antara suami dan istri.
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu”
Ayat ini menunjukkan bahwa jika pasangan suami-istri merasa khawatir akan terjadi persengketaan di antara mereka, disarankan untuk membawa masalah tersebut kepada pihak yang obyektif dan adil, yaitu seorang juru damai dari keluarga suami dan seorang juru damai dari keluarga istri. Melalui ayat ini Allah memberikan arahan yang bijaksana mengenai penyelesaian syiqoq ( konflik ) di antara pasangan suami dan istri. Disarankan agar dalam situasi di mana terjadi ketidaksepakatan atau perselisihan, langkah-langkah konkret diambil untuk mencapai pemulihan hubungan yang harmonis. Instruksi ini mengusulkan penunjukan seorang hakam ( juru damai) dari pihak keluarga suami dan satu hakam lagi dari keluarga istri. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan antara keduanya, dengan keyakinan bahwa Allah memiliki kebijaksanaan untuk membimbing mereka menuju jalan damai (Hamka 1980, h 551).
Menurut Wahbah Az-Zuhaili kata فابعثوا memberikan arahan penting untuk mengutus atau memberi kabar kepada kedua suami istri dengan seizin mereka berdua. Ini mencerminkan prinsip saling menghormati dan berkomunikasi dalam hubungan perkawinan. Komunikasi yang baik antara suami dan istri menjadi landasan utama dalam membangun kehidupan keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang.Selain itu, حكما memiliki makna mendalam dalam konteks karakter seorang lelaki. Seorang hakam (حكما) adalah laki-laki yang tidak hanya adil dalam tindakan, tetapi juga bijaksana dalam pengambilan keputusan. Keadilan menjadi dasar utama dalam memimpin, sedangkan kebijaksanaan diperlukan untuk menilai situasi dengan bijak dan memberikan penyelesaian yang tepat. (Zuhaili 2016, h 78). Sementara itu Qusairy dalam Latahaif Isyari mengomentari keseluruhan ayat ini dengan pedekatan yang berebeda yaitu engkau diseru untuk memberikan ketaatan dengan tubuh, sementara cinta dan kecintaan yang tumbuh di hati, itu adalah urusan Ilahi. Janganlah engkau memaksanya dengan sesuatu yang tidak Allah rezekikan bagimu. Sungguh, hati-hati ini berada dalam kuasa-Nya, dicintai-Nya siapa yang Dia kehendaki dan dibenci-Nya siapa yang Dia kehendaki (Qusayri 1971, h 205)
Dalam perjalanan zaman yang semakin kompleks, prinsip-prinsip yang tersemat dalam sebuah ayat tetap menjadi pedoman yang relevan. Era modern dengan segala dinamikanya memberikan tantangan dan tekanan yang kompleks dalam kehidupan manusia. Namun, esensi dari sebuah prinsip penyelesaian konflik yang diajarkan dalam ayat ini tetap mengemuka sebagai jawaban atas kompleksitas tersebut.
Ketika konflik memuncak dalam berbagai bentuknya, langkah pertama yang dipandang sebagai jalan terbaik adalah dengan membuka jendela dialog dan merangkul perundingan. Prinsip ini bukan hanya sekadar upaya klise, tetapi menjadi landasan utama dalam meniti jalan keluar dari konflik yang menghadang.
Pemilihan juru damai dari keluarga masing-masing tetap menjadi langkah yang mengakar dalam tradisi penyelesaian konflik. Namun, dalam konteks zaman yang terus berkembang, pendekatan ini juga membutuhkan adaptasi. Keberhasilan penyelesaian konflik kini tidak semata terletak pada sosok juru damai keluarga, melainkan pada kesepakatan kedua belah pihak untuk secara bersama-sama mencari solusi yang memadai.
Dalam menghadapi konflik, langkah-langkah konkret dapat diambil untuk meredam gejolaknya. Pertama, melibatkan ahli konseling keluarga atau psikolog dapat menjadi jalan untuk membuka ruang dialog yang lebih terstruktur dan mendalam. Pendekatan ini memberikan wadah yang lebih aman bagi setiap pihak untuk menyampaikan aspirasi, kebutuhan, dan ketakutan mereka secara lebih terbuka dan terarah.
Kedua, program pendidikan keluarga memiliki peran penting dalam menambah pemahaman tentang peran serta tanggung jawab masing-masing anggota keluarga. Dengan pengetahuan yang lebih mendalam tentang dinamika keluarga dan interaksi antar anggota, dapat diciptakan kesadaran akan pentingnya harmoni dan kerja sama dalam menangani konflik.
Ketiga, melibatkan pihak ketiga yang netral menjadi opsi lain yang sangat berarti. Pihak ketiga ini sebaiknya tidak memiliki afiliasi atau kecenderungan pada salah satu pihak yang berseteru. Peran mereka adalah untuk membantu menemukan solusi yang tidak hanya adil, tetapi juga berkelanjutan, mengingat keberlanjutan kedamaian setelah penyelesaian konflik menjadi sangat vital.
Keempat, menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi landasan yang kuat untuk mengatasi konflik. Kesabaran, pengertian, serta saling menghormati adalah prinsip-prinsip yang tersemat dalam ajaran Islam yang memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan keadaan dalam konflik yang memanas.
Demikianlah, dalam perjalanan rumah tangga, panduan bijak Al-Qur’an dalam QS An-Nisa ayat 35 menjadi pencerahan berharga. Ketika lika-liku kehidupan membawa konflik, adaptasi terhadap tradisi penyelesaian menjadi penting. Langkah-langkah konkret, bersandar pada nilai-nilai Islam, membuka ruang untuk rekonsiliasi. Dengan membuka dialog, melibatkan pihak netral, dan menekankan kesepakatan bersama, pasangan suami-istri dapat merajut kembali keharmonisan dalam langkah mereka menyelesaikan konflik rumah tangga.
Nasrullah
Jakarta, 02 November 1978
Guru Al-Qur’an SMK Muhammadiyah 7 Tebet Jakarta Selatan Mahasiswa
Universitas PTIQ Jakarta